Prabowo Ejek Wartawan: “Muka Kayak Enggak Belanja di Mall”, Tidak Pantas!

“Jangan hanya membela orang kaya saja. Kira-kira itu baik enggak? Kita belain para wartawan. Gaji kalian juga kecil kan? Kelihatan dari muka kalian. Muka kalian kelihatan enggak belanja di mall. Betul ya? Jujur, jujur… Selalu sumber alam kita mau diambil, dikuras. Kita kasihan sama kalian tidak bisa belanja di mall. Jadi kita berjuang buat kalian..”
Ibarat sudah putus asa dan menemukan jalan buntu ke Pilpres 2019, Prabowo malah melakukan kesalahan konyol yang tidak pantas dilakukan oleh seorang yang dianggap sebagai negarawan.  Ketua umum partai Gerindra, Prabowo Subianto mengatakan bahwa seorang pemimpin harus membela kepentingan rakyat. Rakyat yang kurang mampu seharusnya yang diperhatikan oleh pemimpin.
Ia mengatakan bahwa jangan sampai ada ketimpangan status ekonomi di masyarakat. Wajar saja, sebagai pengamat, ia bisa berkata apapun, sesuka hatinya. Namun tentu pembaca Seword juga pasti sudah tahu, bagaimana hancurnya negara ini, jika dipimpin oleh orang semacam ini.
Sebenarnya dengan statementnya, Prabowo sedang melakukan blunder pemikiran. Di awal perkataannya, ia menegaskan ingin membela para wartawan. Namun di sisi lain, ia malah mengejek wartawan yang digaji kecil dengan sebutan “Muka kalian kelihatan enggak belanja di mall”. Ini adalah penghinaan yang cukup jelas kepada para orang kecil. Lantas inikah yang dinamakan ‘membela orang kecil’?
Alih-alih ingin menjilat kaum wartawan yang dianggap kaum marginal, orang ini malah ibarat “meludahi” kaum marginal dengan ejekannya. Menyinggung profesi wartawan dengan kalimat yang tidak pantas, sebenarnya ia sedang mencoreng mukanya sendiri. Siapa yang membuat Prabowo dikenal meskipun tidak terkenal? Mau tidak mau, itu adalah wartawan yang terhormat. Mengapa harus diejek?
Apakah betul bahwa gaji wartawan dianggap rendah? Jika memang rendah, apakah itu memengaruhi kesejahteraan mereka? Jikalau memang memengaruhi kesejahteraan mereka, apakah mereka pantas diejek “muka tidak belanja di mall”?
Ini sungguh-sungguh suatu blunder yang dilakukan oleh Prabowo Subianto, orang yang tidak pernah susah. Di tengah-tengah tegangnya intoleransi Indonesia, bukannya malah toleran, Prabowo malah menunjukkan intoleransi antar lapis ekonomi. Sini saya pecut kudanya!
Orang yang tidak pernah susah memang memiliki karakter yang cenderung menginjak dan menekan manusia yang di bawahnya. Inilah kegagalan berpikir 48% rakyat Indonesia pendukung Prabowo dan 58% warga Jakarta pendukung Gubernur terpilih hahaha. Siapa presiden dan gubernur yang kalian pilih?
Apakah kalian memilih presiden yang sehat, gemuk, bugar dan memiliki kuda seharga puluhan juta? Salah! Kalian harusnya memilih presiden yang jujur, merakyat, dan sederhana. Presiden harus lahir dari kaum marginal, agar mengerti bagaimana kesulitan kaum marginal, dan juga kaum eksekutif. Siapakah orang yang paling layak menjadi pemimpin kita? Salah! Jawabannya adalah Joko Widodo.
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling sulit diatur. Lihat saja dari masa ke masa, setelah Soekarno mendirikan NKRI, pemimpin seperti Soeharto sampai SBY, sangatlah mengalami kesulitan di dalam memimpin negara ini. Sulit sekali bagi pemimpin Indonesia untuk menyelaraskan seluruh keberbedaan yang ada dari Sabang sampai Merauke.
Namun saya percaya, ada beberapa pemimpin yang justru tidak ingin menonjolkan keberbedaan dan keberagaman yang ada. Mereka lebih menghargai keberagaman. Kita tahu bahwa beberapa presiden Indonesia mencoba untuk merangkul keberagaman.
Jokowi hadir sebagai pemimpin, bukan untuk mengerucutkan keberagaman, namun untuk menghargai keberagaman. Jadi tidak berlebihan jika kita jatuh dalam kesimpulan bahwa ejekan Prabowo kepada para wartawan, adalah sebuah kalimat yang memecah belah antara kaum marginal dan eksklusif. Sebuah kalimat yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang negarawan, memecah belah keberbedaan yang ada. Jurang yang ada, malah diperlebar dengan kalimat-kalimat bocornya.
Semoga ini adalah kalimat terakhir yang memecah belah dikeluarkan oleh Prabowo. Jangan sampai keluar lagi. Karena entah mengapa, semakin ia berbicara, malah semakin memecah kaum marginal dan tidak marginal. Orang tidak pernah susah, memang kalimat-kalimatnya sangat menyakiti.