Akankah Setnov, Fadli dan Fahri Jadi Pimpinan DPR Seumur Hidup?

Presiden ke 16 Amerika, Abraham Lincoln, pernah mengatakan, jika anda ingin menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan.
Sebuah kekuasaan sejatinya adalah amanah besar yang mempertaruhkan nasib orang banyak. Nasib penduduk kota atau wilayah, banyak ditentukan oleh Bupati atau Walikotanya. Begitu juga dengan nasib provinsi atau negara, tergantung pada Gubernur atau Presidennya.
Sejarah sudah mencatat, 32 tahun Soeharto, mewariskan sebuah trauma mendalam tentang penculikan, ototirer dan tidak sepenuhnya merdeka sebagai manusia. Begitu pula dengan 10 tahun SBY, mewariskan utang luar negeri yang sangat banyak, sementara proyek-proyek yang menghabiskan triliunan rupiah banyak yang mangkrak. Ke mana uangnya? Tanyakan saja kepada anak buah SBY seperti Nazarudin, Anas, Anggie, Andi M, Sutan Batugana dan kawan-kawan dari partai penguasa saat itu, Demokrat.
Di era Jokowi, awalnya semua nampak penuh semangat. Dengan slogan kerja, kerja, kerja, kita melihat setitik cahaya optimisme. Pembangunan dikerjakan siang malam, mengejar ketertinggalan dari negara lain. Bukit Papua pun berhasil dibangun jalan besar. Bandara-bandara di wilayah terluar Indonesia dirombak dan dibangun. Kita pikir inilah kepemimpinan era Jokowi, era transformasi.
Namun belakangan saya seperti baru sadar, bahwa Presiden Jokowi dan kabinetnya memiliki batu sandungan yang sangat besar di parlemen, DPR. Sekilas memang terlihat tidak ada masalah. Presiden nampak begitu sibuk blusukan, begitu menikmati kerja keras dan menerapkan semangat kerja, kerja, kerja.
Ada suatu masalah yang sangat serius yang mungkin tidak disadari oleh semua orang. Untuk itu saya menuliskan ini, harapannya semakin banyak orang yang sadar.
Dulu, di era SBY, pimpinan DPR selalu diisi oleh partai pemenang pemilu. Hal ini diatur dalam UU MD3 yang lama. Namun saat Jokowi JK menang secara sempurna atas Capres kalah Prabowo, UU MD3 tersebut diubah dengan sistem paket pemilihan. Jadi setiap anggota DPR berhak dipilih dan memilih pemimpin alat kelengkapan dewan dengan cara musyawarah mufakat atau voting.
Logikanya, pimpinan DPR bukan lagi merepresentasikan suara rakyat terbanyak di Indonesia. Melainkan hasil koalisi terbesar dari partai-partai yang ada.
Meski mayoritas rakyat Indonesia memilih Jokowi JK sebagai pemimpin sampai 2019, tapi mereka didukung oleh partai minoritas di DPR. Sehingga saat Jokowi JK menang total, partai-partai yang sakit hati permanen itu kemudian berkoalisi untuk mengubah UU MD3.
Sehingga terpilihlah Setya Novanto (Golkar), Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra) dan Agus Hermanto (Demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN) sebagai pimpinan DPR. Mereka semua memang adalah bagian dari KMP, partai koalisi yang keok di Pilpres 2014.
Saat PDIP dulu ngotot untuk banding ke MK, saya pikir itu hanya karena masalah kekuasaan. PDIP tidak mendapat haknya sebagai partai pemenang pemilu. Namun hari ini saya baru sadar, rupanya ada yang lebih buruk dari itu. UU MD3 yang baru telah menghasilkan pimpinan DPR otoriter yang jadi mustahil digeser. Mari kita telaah.
Saat Fadli dan Setnov tertangkap basah sedang jalan-jalan di Amerika, kemudian hadir di kampanye Donald Trump di sela-sela tugas, publik marah besar. Bagaimana mungkin para pimpinan DPR itu, yang mewakili suara rakyat Indonesia, harus ikut-ikutan mendukung bakal calon Presiden Donald Trump? Apa urusannya?
Tapi Fadli dan Setnov kokoh sebagai pimpinan dan tak tergantikan. Kesalahan yang sangat tidak etis tersebut hanya jadi angin lalu. Padahal menurut saya itu adalah pelanggaran etik yang sangat fundamental. Mereka seolah tidak menghargai dan menjaga kehormatan rakyat Indonesia.
Selanjutnya Setnov terkena kasus mencatut nama Presiden dalam negosiasi Freeport. Papa Minta Saham. Kasus ini memang membuat Setnov lengser dari jabatannya sebagai ketua DPR. Akan tetapi bukan dilengserkan, melainkan mengundurkan diri. Lalu apa hukuman kepada Setnov yang telah berani meminta saham pada Freeport dengan mecatut nama Presiden? Entahlah…
Setnov sempat kembali sebagai ketua DPR, setelah beberapa waktu lalu berhasil terpilih menjadi ketua umum Golkar. Tapi lagi-lagi Setnov bermasalah, sekarang dia secara resmi menyandang status tersangka kasus korupsi e-KTP. Bedanya, kali ini Setnov enggan untuk mengundurkan diri.
Terakhir Fahri Hamzah. Saya pikir dia adalah satu-satunya manusia di dunia, yang berhasil bertahan sebagai pimpinan DPR meski tidak memiliki partai. Beberapa waktu lalu Fahri Hamzah sudah dipecat oleh PKS, namun Fahri tidak mau mundur atau melepas jabatan politisnya di DPR.
Dari serangkaian cerita ini, kita harus sadar bahwa UU MD3 dari koalisi partai yang kalah di Pilpres 2014 telah menghasilkan sebuah sistem yang sangat buruk. Silahkan dibayangkan, betapa malunya kita memiliki ketua DPR yang menjadi tersangka kasus korupsi e-KTP. Sementara wakilnya adalah orang yang sudah dipecat oleh partainya dan tidak mau mengundurkan diri.
UU MD3 yang dirumuskan oleh koalisi partai pendukung Prabowo telah berhasil membuat sejarah kelam demokrasi di Indonesia. Sehingga kalau anak cucu kita nanti bertanya mengapa Indonesia pernah memiliki pimpinan DPR tersangka dan tidak punya partai, sepertinya kita akan kebingungan bagaimana menjawabnya.
Setnov, Fadli dan Fahri begitu kokoh di DPR berkat produk UU MD3 itu. Mereka tak tergantikan karena menjadi bagian dari partai dengan suara mayoritas yang menguasai DPR. Bahkan kalau nanti Setnov terbukti bersalah pun, saya juga tidak yakin partai koalisi pendukung Capres kalah Prabowo itu ada yang berani bersuara untuk menggantikannya.
UU MD3 sistem paket berhasil menciptakan sebuah sistem kekuasaan permanen, selama mereka berhasil partai-partai untuk berkoalisi. Coba perhatikan. Saat Fahri dipecat oleh PKS, seharusnya PKS punya kuasa untuk menggantikan posisi Fahri. Namun kenyataannya sampai sekarang PKS tidak berdaya, karena Fahri sudah masuk sebagai pimpinan paket dan mendapat dukungan penuh dari Fadli, Setnov, Agus dan Taufik Kurniawan. PKS nampak seperti bukan partai politik, sebab terlihat begitu lemah dan kalah oleh seorang Fahri Hamzah.
Ketika Setnov mengundurkan diri karena kasus, dia bisa kembali menjadi ketua DPR setelah berhasil terpilih sebagai ketua umum Golkar. Silahkan perhatikan, tidak ada penolakan berarti kepada Setnov. Padahal dia pernah terkena kasus.
Sampai di sini, sepertinya apa yang diucapkan oleh Abraham Lincoln mulai terasa. Karakter asli mereka mulai terlihat, berkuasa secara permanen. Bahwa kemudian Prabowo adalah mantu Soeharto yang dikenal otoriter dan berkuasa nyaris permanen (jika tidak didesak mundur), saya pikir itu hanya kebetulan belaka.
Pada intinya, sejarah demokrasi di negara kita bisa menjadi bahan tertawaan. Ini terjadi karena partai-partai yang memiliki karakter buruk masih mendapat suara, dan berhasil berkoalisi. Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan sebagai rakyat biasa adalah dengan tidak memilih partai-parati koalisi anu tersebut. Jika kita tetap memilih mereka, bukan tidak mungkin kalau Fadli, Fahri, dan Setnov akan menjadi pimpinan DPR seumur hidup di Indonesia. Tidak perduli lagi siapa Presidennya, partai pemenang pemilu dan sebagainya, yang penting mereka tetap berkoalisi menjadi partai mayoritas. Dan kita akan melihat langkah Indonesia yang cukup berat ke depannya.